Pola Keruangan Wilayah Kota Berdasarkan Pendekatan
Ekonomi:
Teori Sewa Lahan dan Teori Nilai Lahan
Bagaimanakah
pola keruangan wilayah kota berdasarkan teori sewa lahan dan teori nilai lahan?
Sumber: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/7/75/
Central_Business_District_skyline_viewed_from_the_Lower_
Boardwalk_of_Marina_Bay%2C_Singapore_-_20121022-01.jpg |
Pendekatan ekonomi untuk
studi pola keruangan kota sebenarnya baru mulai mendapat perhatian besar pada
tahun 1960-an. Akan tetapi, gagasan yang mengarah ke pendekatan ini telah
muncul jauh sebelumnya. Terdapat tokoh yang menyampaikan gagasannya, antara lain
Cooley (1894) dan Weber (1895) yang mengemukakan bahwa jalur transportasi
memiliki peran cukup besar terhadap perkembangan kota. Selain itu, terdapat
juga pendapat Hurd (1903) yang menyinggung masalah land values (nilai ahan), rents (sewa lahan), dan costs
(biaya) dalam suatu kota yang memiliki kaitan erat dengan penggunaan lahan.
1. Teori
Sewa Lahan
Teori ini dikemukakan oleh
Robert M. Haig (1926). Haig memiliki pandangan berbeda dengan pendapat sewa
lahan menurut Hurd. Menurut teori ini, sewa lahan merupakan biaya pembayaran
aksesibilitas atau penghematan biaya transportasi. Hal ini akan menentukan
siapa yang berhak menempati suatu lokasi. Selanjutnya, teori ini disempurnakan
oleh R.V. Retcliff pada tahun 1949. Menurut Retcliff, pusat kota memiliki
aksesibilitas terbesar dan dari pusat kota ini nilai lahan akan menurun secara
teratur ke arah luar. Pola penggunaan lahan akan terjadi dengan sendirinya
karena adanya persaingan berbagai kegiatan untuk mendapatkan lokasi yang
diinginkan. Persaingan akan diperhitungkan berdasarkan kemampuan menawar harga sewa
lahan.
Menurut Retcliff, keruangan
kota dibedakan menjadi 4 zona sebagai berikut.
a. Retailing
functions, berada di pusat kota
karena kelangsungan usaha ini memerlukan derajat aksesibilitas paling besar
agar mendapatkan keuntungan maksimal. Oleh karena itu, usaha ini berani
membayar harga sewa lahan tinggi. Contohnya, toko-toko yang menjual barang
dengan frekuensi beli tinggi, seperti pakaian, atau frekuensi beli agak rendah,
seperti perhiasan mahal.
b. Industrial
and transportation zone, zona ini banyak
ditempati oleh usaha industri dan perdagangan. Usaha ini membutuhkan lokasi sentral,
namun kalah bersaing dengan retailing functions dalam
mendapatkan lahan.
c.
Residential
zone, yaitu
zona yang digunakan untuk
perumahan.
d. Agricultural
zone, zona pertanian yang berlokasi di luar kota karena
tidak memerlukan aksesibilitas besar.
2. Teori
Nilai Lahan
Teori ini menjelaskan bahwa
nilai lahan dan penggunaan lahan mempunyai kaitan yang erat. Nilai lahan dapat
dilihat dari aspek pertanian maupun aksesibilitasnya. Dari aspek pertanian, lahan
yang subur akan memiliki nilai yang tinggi. Lahan yang tidak subur juga akan
memiliki nilai yang tinggi apabila memiliki kemudahan aksesibilitas sehingga
memungkinkan untuk dimanfaatkan di luar sektor pertanian.
No comments:
Post a Comment