Pola Keruangan Wilayah Kota Berdasarkan Teori
Konsentris dan
Teori Ketinggian Bangunan
Teori Ketinggian Bangunan
Bagaimanakah
pola keruangan wilayah kota berdasarkan teori konsentris dan teori ketinggian
bangunan?
Sumber: https://www.goodfreephotos.com/albums/england/
london/city-view-and-skyline-of-london.jpg
|
Menurut Yunus
(2006), terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menyoroti
dinamika kehidupan suatu kota, khususnya berdasarkan penggunaan lahan kota atau
tata ruang kota tersebut. Pendekatan-pendekatan tersebut dapat dikategorikan
menjadi empat macam, yaitu pendekatan ekologi, pendekatan ekonomi,
pendekatan morfologi, dan pendekatan
sistem kegiatan. Saat ini, kita akan membahas tentang pendekatan ekologi,
khususnya berdasarkan teori konsentris dan teori ketinggian bangunan.
1. Teori Konsentris
Teori konsentris
muncul dari pemerhati ekologi Kota Chicago, Amerika Serikat, setelah melihat
adanya keteraturan pola penggunaan lahan yang tercipta sebagai hasil proses
interelasi elemen-elemen wilayah di kotanya. Pakar yang pertama kali
mencetuskan teori ini adalah E.W. Burges (1925). Menurut teori ini, daerah perkotaan
terdiri atas 5 zona secara berlapis-lapis, yaitu daerah pusat kegiatan (central business district), zona peralihan
(transition zone), zona permukiman
pekerja (zone of working men’s homes),
zona permukiman yang lebih baik (zone of
better residences), dan zona para penglaju (zone of commuters).
Daerah pusat
kegiatan adalah pusat dari segala kegiatan di kota, antara lain pada bidang politik,
sosial, ekonomi, dan teknologi. Daerah ini masih dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu bagian paling inti disebut RDB (Retail
Business District) dan bagian WBD (Wholesale
Business District). Di RDB terdapat kegiatan dominan berupa supermarket,
perkantoran, bank, hotel, serta kantor pemerintahan. Sementara itu, WBD
ditempati oleh bangunan yang diperuntukkan bagi kegiatan ekonomi dalam jumlah
besar, seperti pasar dan pergudangan. Zona peralihan merupakan zona yang
mengalami penurunan kualitas lingkungan semakin lama semakin parah. Selanjutnya, zona perumahan para pekerja banyak
ditempati oleh pekerja, baik pekerja kantor
maupun pekerja industri yang menginginkan bertempat tinggal dekat dengan tempat
kerjanya. Zona permukiman yang lebih baik ditempati oleh penduduk yang berstatus
ekonomi menengah ke atas. Walaupun ada yang tidak berstatus ekonomi atas,
mereka mengusahakan sendiri bisnis kecil-kecilan. Sementara itu, zona penglaju
ditempati oleh pekerja yang tidak menginap di pusat kota.
2. Teori Ketinggian Bangunan
Teori ini dikemukakan oleh
Bergel (1955), ia mengusulkan untuk memperhatikan ketinggian bangunan dalam
analisis keruangan kota. Teori ini melengkapi teori konsentris yang hanya
memandang ruang kota secara dua dimensi. Menurut teori ini, aksesibilitas kota
tidak hanya dipandang secara horizontal, tetapi juga secara vertikal. Misalnya,
pada gedung yang tinggi, aksesibilitas paling tinggi adalah di lantai dasar
(paling bawah) sehingga ruang-ruang di sini ditempati oleh kegiatan yang paling
kuat ekonominya (pengaruhnya). Semakin ke atas, ruang akan dihuni oleh
fungsi-fungsi yang lebih lemah.
No comments:
Post a Comment